Jumat, 18 Mei 2012

Buku Gratis Untuk Dunia


Perpustakaan digital tertua, Gutenberg Project, kedatangan pesaing sekaligus teman seperjuangan dalam menyebarkan buku-buku ilmu pengetahuan secara gratis untuk dunia. Namanya Google Books Search.

Mulai pekan lalu, fasilitas pencarian buku yang telah dirancang Google sejak akhir 2004 itu secara resmi membuka fasilitas pengunduhan gratis buku-buku yang telah habis masa hak ciptanya.

Pengelola Google memang belum menyebutkan jumlah koleksi buku digital mereka. Tapi banyak orang menduga, dengan dukungan beberapa perpustakaan besar dunia, seperti perpustakaan Universitas Harvard, Michigan, Stanford, dan California di Amerika Serikat, Universitas Oxford di Inggris, serta Perpustakaan Umum New York, koleksi Google bakal melampaui koleksi Gutenberg Project yang jumlahnya mencapai 19 ribu buku.
Lepas dari berapa persisnya jumlah koleksi buku yang dipunyai Google, kehadiran fasilitas pengunduhan buku gratis ini telah menambah ramai jumlah pengelola perpustakaan digital di dunia maya.

Sebelumnya, selain Gutenberg Project yang berdiri pada 1971, ada Perpustakaan Christian Classics Ethereal dan Perseus Project, yang menyediakan buku-buku digital secara gratis.

Semua perpustakaan digital memiliki karakteristik tersendiri dari sisi pilihan koleksi dan format buku. Gutenberg Project menawarkan buku-buku dengan pilihan topik yang luas dalam format teks. Sementara itu, Christian Classic hanya menyediakan buku-buku dengan topik tertentu dalam format teks dan PDF.

Lain halnya dengan Perseus Project, yang memfokuskan diri pada publikasi naskah-naskah kuno dan dari era renaisans. Sedangkan Google menyajikan buku-buku dengan topik yang sangat luas dan seluruhnya dalam format PDF.

Format teks yang diusung Gutenberg Project unggul dalam kemudahan pengunduhan karena ukuran file-nya sangat kecil. Lewat format teks, ratusan halaman buku bisa diunduh kurang dari 10 menit.

Buku dalam format teks juga mudah diedit. Kelemahannya, format teks tidak bisa menampilkan gambar-gambar dalam sebuah buku. Selain itu, buku tersebut tidak bisa dicetak ulang seperti aslinya.

Sedangkan format PDF dipilih Google karena semua buku digital koleksinya berasal dari pemindaian buku asli. Dengan format ini, tampilan buku digital seratus persen sama dengan buku cetakan aslinya sehingga sangat baik untuk pencetakan ulang. Tapi ini ada kelemahannya juga. Ukuran file yang disimpan dalam format PDF lebih besar dan memerlukan waktu pengunduhan yang relatif lebih lama.

Karena berasal dari pindaian yang tidak diedit, saat mengunduh akan ikut terkirim antara lain tanda perpustakaan atau coretan yang dibuat peminjam sebelumnya.

Misalnya, pada pengunduhan buku A Tale of Two Cities yang dipindai dari sebuah buku yang dicetak pada 1908 oleh University Society. Di dalamnya terdapat sebuah stempel yang menunjukkan bahwa buku ini berasal dari koleksi Harvard College Library pada 1942.

Adam Smith, Manajer Produk Google Books Search, menuturkan pengunjung Google dapat memilih koleksi judul yang telah menjadi domain publik, dari karya-karya klasik Dickens, Shakespeare, dan Dante, hingga karya-karya yang belum dikenal sama sekali.

"Sebelumnya, koleksi buku hanya bisa dinikmati segelintir orang berduit. Sekarang setiap orang bisa membaca buku-buku yang sudah habis masa hak ciptanya," kata Smith.

Tidak terbatas pada buku-buku lawas, Google menyediakan akses untuk mengintip buku-buku yang masih dalam periode hak cipta. Hanya, untuk buku-buku jenis ini, pengunjung cuma diizinkan membaca informasi dasar bibliografi dan cuplikan buku-buku tersebut.

Menurut Smith, beberapa buku, dengan seizin penerbitnya, dapat dibaca di bagian halaman pentingnya. "Orang yang berminat membeli buku berlisensi itu dapat mengunjungi link yang disediakan Google," ujar dia.

Meski begitu, niat baik Google menyebarkan ilmu pengetahuan secara cuma-cuma ke seluruh dunia sempat mendapat perlawanan dari Asosiasi Penerbit Amerika Serikat. Asosiasi ini tahun lalu mengajukan gugatan hukum melawan Google dengan tuduhan pelanggaran hak cipta karena memindai dan mendistribusikan secara digital buku-buku berlisensi.

Untunglah, pengelola Google tak surut langkah. Mereka yakin menampilkan nukilan sebuah buku berlisensi tidak akan melanggar hak cipta. Apalagi semua buku yang bisa diunduh telah habis masa hak ciptanya (domain publik).

Berbekal dukungan dari perpustakaan-perpustakaan kelas dunia, Google akhirnya maju terus, bahkan telah melaksanakan pilot project kerja sama dengan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat.

Sid Verba, Direktur Perpustakaan Universitas Harvard, mengungkapkan dukungannya terhadap program kemitraan dengan Google yang bertujuan mendigitalisasi karya-karya klasik dan populer yang telah menjadi domain publik. "Program ini dapat membantu menemukan informasi yang terkubur mengenai peristiwa, orang, tempat, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan," tuturnya.

Google selalu mengingatkan setiap pengunjung agar selalu memeriksa masa berlaku hak cipta buku-buku yang diunduh. Sebab, hak cipta sebuah buku yang telah habis di Amerika Serikat belum tentu berlaku sama di negara-negara lain. Pengunjung juga diminta tidak menjual kembali buku-buku yang telah diunduh.

Langkah Google ini dalam waktu dekat akan diikuti oleh raksasa mesin pencari lainnya, Yahoo, dengan proyeknya yang bernama Open Content Alliance. Tujuan proyek ini adalah menyediakan indeks buku domain publik. Bersama Yahoo, turut mensponsori proyek ini Microsoft, Perpustakaan Umum Boston, Universitas Johns Hopkins, Institusi Smithsonian, dan Arsip Nasional Inggris.

Bagi yang tertarik dengan DVD yang berisi puluhan ribu buku-buku dari gutenberg Silahkan menghubungi

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More